![]() |
Poto: Ilustrasi/Int |
Sebelum diangkat sebagai Arung Matoa, dalam Buku Sejarah Struktur dan Sistem Pemerintahan Kerajaan Wajo menuliskan, La Obbi Settiriware memegang jabatan penting sebagai Ranreng Bettempola. Namun sesuai adat dan hukum Wajo saat itu, siapa pun yang ditunjuk menjadi Arung Matoa harus melepaskan semua jabatannya yang lama. Maka La Obbi pun menyerahkan jabatan Ranreng Bettempola kepada To Angkone, sementara jabatan Arung Bettempola tetap dipegang oleh La Tiringeng To Taba.
Setahun setelah penobatan La Obbi sebagai Arung Matoa, datanglah Datu Luwu To Sengereng Dewa Raja, atau dikenal juga dengan nama Datu Kilalik, berkunjung ke Wajo. Ia datang dengan membawa maksud baik: menawarkan perjanjian perdamaian dan persaudaraan antara Luwu dan Wajo. Dalam perjanjian tersebut, Luwu diposisikan sebagai "induk" (Ina) dan Wajo sebagai "anak" (Ana’) sebuah simbol hubungan kekeluargaan yang saling menghormati. Namun ditegaskan juga bahwa “Api Luwu tak akan membakar Wajo, dan Api Wajo pun tak akan membakar Luwu,” yang artinya kedua kerajaan berkomitmen untuk tidak saling memerangi.
Dalam semangat perjanjian itu, Datu Luwu mengusulkan agar Wajo melengkapi dirinya dengan panji-panji (bate) sebagai simbol kekuatan dan kepemimpinan. Awalnya, Arung Matoa menyatakan bahwa Wajo telah memiliki bate caddi (bendera kecil), tetapi Datu Luwu menginginkan agar setiap wilayah (limpo) juga memiliki bate lompo (bendera besar). Usul ini disetujui. Lalu, Datu Luwu menyerahkan panji-panji:
Anynyarampanie (Kuda Pemberani) kepada Ranreng Bettempola, Tutturumpulawengnge (Tanduk Emas) kepada Ranreng Talo’tenreng, dan Cakkuridie (Bendera Kuning) kepada Ranreng Tuwa.
Di masa kepemimpinannya, La Obbi juga mulai membentuk sistem pengelolaan pemerintahan yang lebih terstruktur. Ia menunjuk tiga orang utusan keliling, yang disebut Suro Palelle Toana, berasal dari tiga limpo yang berbeda. Tugas mereka mirip seperti pejabat eksekutif harian, bersama dengan tiga Ranreng dan tiga Pabbate Lompo. Gabungan para tokoh ini dikenal sebagai Petta Ennengnge, dan jika diketuai langsung oleh Arung Matoa, mereka disebut Petta Wajo.
Tak berhenti di situ, La Obbi meneruskan rencana Arung Matoa sebelumnya La Palewo To Palipu untuk memperluas pengaruh Wajo. Namun ketika ajakan untuk bergabung ditolak oleh Arung Sekkanasu, maka La Obbi memerintahkan La Tadampare untuk memimpin penyerangan. Dalam ekspedisi itu, La Tadampare didampingi oleh Datu Bola,To Sune Raja Mawellang Balieloe, dan sepuluh prajurit tangguh yang dipimpin oleh To Camauk.
Hasilnya, dua daerah penting, Wewatana dan Belogalung, berhasil dibakar dan ditaklukkan. Sekkanasu pun jatuh, dan wilayah itu diberi status "Ata’" (wilayah taklukan). Karena keberhasilannya membakar kedua daerah itu, La Tadampare kemudian diberi gelar "Puang ri Maggalatung" gelar kehormatan yang menunjukkan keberaniannya sebagai pembakar medan musuh.
Lima tahun setelah memimpin,La Obbi Settiriware wafat. Dewan Wajo sepakat memilih La Tadampare Puang ri Maggalatung sebagai penerus. Namun, ia kembali menolak jabatan Arung Matoa sikap ini menunjukkan bahwa La Tadampare adalah tokoh yang rendah hati dan tidak haus kekuasaan, meskipun jasanya besar bagi negeri Wajo.(red)