La Palewo To Palipu (1474–1481)
Ketika Arung Simettempola menyampaikan keputusan musyawarah, La Palewo To Palipu awalnya mengajukan keberatan dengan alasan bahwa dirinya bodoh, penakut, dan miskin. Ia merasa tidak pantas untuk memimpin Wajo. Namun, Arung Simettempola membujuknya agar bersedia menerima keputusan itu dengan alasan bahwa orang Wajo dikenal pintar, berani, kaya, dan berkemampuan. Akhirnya, La Palewo To Palipu setuju untuk diangkat menjadi raja.
Berbeda dengan pelantikan raja-raja lain di Sulawesi Selatan yang umumnya dilakukan di tempat pelantikan yang disebut Tana Bangkala, La Palewo To Palipu dilantik di sudut rumahnya sendiri yang dinamakan Riabbawasaoi.
Pada masa pemerintahannya sebagai Arung Matoa pertama, La Palewo To Palipu, dengan gelar Arung Simettempola, mengubah gelarnya menjadi Arung Bettempola. Gelar Matoa diganti menjadi Punggawa Ina’ Tau, dan Paddanreng diganti menjadi Ranreng.
Disepakati pula untuk membagi tiap limpo (wilayah administratif) menjadi empat bagian yang disebut ana’ limpo, masing-masing dipimpin oleh Arung Mabbicara. Adapun pembagian tiga limpo tersebut adalah sebagai berikut:
Limpo Bettempola: terdiri atas Bettempola, Botto, Ujung Kalakkang, dan Lowa-Lowa.
Limpo Talo’tenreng: terdiri atas Talo’tenreng, Ta, Ciung, dan Pallekkoreng.
Limpo Tuwa: terdiri atas Aka, Lempa Menge, dan Kampiri.
Tiap-tiap ana’ limpo memiliki panglima perang yang disebut bate caddi, yaitu pemegang bendera kecil. Selain itu, aktivitas lainnya adalah menetapkan peraturan hukum warisan anak yang lahir dari perkawinan lelaki bangsawan dengan perempuan golongan maradeka, dan anak dari perkawinan lelaki maradeka dengan ata. Juga ditetapkan peraturan tentang ata yang pindah.
Setelah tujuh tahun memerintah, La Palewo To Palipu wafat. Dewan Pemerintah Pusat Wajo kemudian memilih La Tadampare sebagai penggantinya. Namun, La Tadampare menolak hasil pemilihan tersebut, sehingga pilihan selanjutnya jatuh kepada La Obbi Settiware, yang kemudian menjadi Arung Matoa Wajo II (Ranreng Battempola).